يَٰٓأَيّÙهَا ٱلَّذÙينَ ءَامَنÙواْ لَا تَتَّخÙØ°Ùواْ ٱلۡيَهÙودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ Ø£ÙŽÙˆÛ¡Ù„Ùيَآءَۘ بَعۡضÙÙ‡ÙÙ…Û¡ Ø£ÙŽÙˆÛ¡Ù„Ùيَآء٠بَعۡضٖۚ ÙˆÙŽÙ…ÙŽÙ† يَتَوَلَّهÙÙ… مّÙنكÙÙ…Û¡ ÙÙŽØ¥ÙنَّهÙÛ¥ Ù…ÙÙ†Û¡Ù‡ÙÙ…Û¡Û— Ø¥Ùنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدÙÙŠ ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلÙÙ…Ùينَ .
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya’; sebagian mereka adalah auliya’ bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka sebagai auliya’, maka sesungguhnya dia termasuk sebagian mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Kata (أولياء) auliya, adalah bentuk jamak dari kata (ولي) waliy. Kata ini terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf wauw, lam, dan ya’ yang makna dasarnya adalah dekat. Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru, seperti pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama, dan lain-lain, yang kesemuanya diikat oleh benang merah kedekatan.
Itu sebabnya ayah adalah orang paling utama yang menjadi waliy anak perempuannya, karena dia adalah yang terdekat kepadanya. Orang yang amat taat dan tekun beribadah dinamai waliy karena dia dekat kepada Allah. Seorang yang bersahabat dengan orang lain sehingga mereka selalu bersama dan saling menyampaikan rahasia karena kedekatan mereka, juga dapat dinamakan waliy. Demikian juga pemimpin, karena dia seharusnya dekat kepada yang dipimpinnya.
Demikian dekatnya sehingga dialah yang pertama mendengar panggilan bahkan keluhan dan bisikan siapa yang dipimpinya, dan karena kedekatannya itu dia pula yang pertama datang membantunya. Demikian terlihat bahwa semua makna-makna tersebut dapat dicakup oleh kata auliya’.
Larangan menjadikan non-Muslim sebagai auliya’ yang disebut ayat tersebut, dikemukakan dengan sekian pengukuhan. Antara lain: 1) pada larangan tegas yang menyatakan, janganlah menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin. 2) penegasan bahwa sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. 3) Ancaman bagi yang mengangkat mereka sebagai pemimpin, bahwa ia termasuk golongan mereka serta merupakan orang yang zalim.
Kendati demikian, larangan tersebut tidaklah mutlak, sehingga mencakup seluruh makna yang dikandung oleh kata auliya’.
Muhammad Sayyid Thanthawi dalam tafsirnya mengemukakan bahwa non-Muslim dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, adalah mereka yang tinggal bersama kaum muslimin, dan hidup damai bersama mereka, tidak melakukan kegiatan untuk kepentingan lawan Islam serta tidak juga nampak dari mereka tanda-tanda yang mengantar kepada prasangka buruk terhadap mereka. Kelompok ini mempunyai hak dan kewajiban sosial yang sama dengan kaum muslimin. Tidak ada larangan untuk bersahabat dan berbuat baik kepada mereka, sebagaimana firman Allah:
لَّا يَنۡهَىٰكÙم٠ٱللَّه٠عَن٠ٱلَّذÙينَ Ù„ÙŽÙ…Û¡ ÙŠÙقَٰتÙÙ„ÙوكÙÙ…Û¡ ÙÙÙŠ ٱلدّÙين٠وَلَمۡ ÙŠÙخۡرÙجÙوكÙÙ… مّÙÙ† دÙيَٰرÙÙƒÙÙ…Û¡ Ø£ÙŽÙ† تَبَرّÙوهÙÙ…Û¡ وَتÙقۡسÙØ·Ùوٓاْ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙŠÛ¡Ù‡ÙÙ…Û¡Ûš Ø¥Ùنَّ ٱللَّهَ ÙŠÙØÙبّ٠ٱلۡمÙقۡسÙØ·Ùينَ .
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah(60):8)
Kedua, kelompok yang memerangi atau merugikan kaum muslimin dengan berbagai cara. Terhadap mereka tidak boleh dijalin hubungan harmonis, tidak boleh juga didekati. Merekalah yang dimaksud oleh ayat ini, demikian juga dengan ayat-ayat lain, seperti:
Ø¥Ùنَّمَا يَنۡهَىٰكÙم٠ٱللَّه٠عَن٠ٱلَّذÙينَ قَٰتَلÙوكÙÙ…Û¡ ÙÙÙŠ ٱلدّÙين٠وَأَخۡرَجÙوكÙÙ… مّÙÙ† دÙيَٰرÙÙƒÙÙ…Û¡ وَظَٰهَرÙواْ عَلَىٰٓ Ø¥ÙخۡرَاجÙÙƒÙÙ…Û¡ Ø£ÙŽÙ† تَوَلَّوۡهÙÙ…Û¡Ûš ÙˆÙŽÙ…ÙŽÙ† يَتَوَلَّهÙÙ…Û¡ ÙÙŽØ£ÙوْلَٰٓئÙÙƒÙŽ Ù‡Ùم٠ٱلظَّٰلÙÙ…Ùونَ .
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah (60): 9)
Ketiga, kelompok yang tidak secara terang-terangan memusuhi kaum muslimin, tetapi ditemukan pada mereka sekian indikator yang menunjukkan bahwa mereka tidak bersimpati kepada kaum muslimin tetapi mereka bersimpati kepada musuh-musuh Islam. Terhadap mereka Allah memerintahkan kaum beriman agar bersikap hati-hati tanpa memusuhi mereka.
Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu Kasir berkata:
ينهى تبارك وتعالى عباده المؤمنين عن موالاة اليهود والنصارى الذين هم اعداء الإ سلام وأهله، قاتلهم الله.( تÙسير ابن كثير )
“Allah Swt melarang hamba-hamba-Nya yang mu’min dari Muwalah dengan Yahudi dan Nasrani di mana mereka adalah musuh-musuh Islam, maka Allah Swt memerangi mereka.”
Oleh: Drs. H. Mughni Labib, M.S.I.
Makalah ini disampaikan pada acara Pengajian rutin Selasaan, 18 Oktober 2016 untuk Pembinaan Pegawai di Aula Kankemenag Cilacap.