A. Pendahuluan
Pada 17 Februari 2012 Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan putusan penting dan revolusioner. Menurut putusan MK Nomor: 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17 Februari 2012 ini, anak yang dilahirkan di luar pernikahan tidak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu, tetapi juga dengan ayah biologisnya. Dengan putusan ini, maka sang ayah pun juga harus ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan anak itu.
Majelis Konstitusi menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” bertentangan dengan UUD 1945. Lebih lanjut, Mahkamah menyatakan pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata anak dengan laki-laki yang dapat dibuktikan —berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau lat bukti lain yang sah menutur hukum— ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Secara lebih rinci, pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tersebut diputuskan menjadi, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” Ketua MK pun menjelaskan bahwa semua anak yang lahir di luar perkawinan resmi, mempunyai hubungan darah dan perdata dengan ayah mereka, baik akibat nikah sirri, perselingkuhan, ataupun hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau samen leven.
B. Implikasi Hukum dan Moral
Ada beberapa implikasi yang perlu dikritisi terkait putusan MK yang sangat revolusioner tersebut.
Pertama, putusan MK ini bisa mengarahkan ke pembentukan struktur keluarga Indonesia menjadi dua model, yakni (1) struktur keluarga yang berdasarkan perkawinan dan (2) keluarga yang berupa hidup bersama tanpa ikatan perkawinan. Menurut Frances Burton (Inggris), pada era sekarang ini memang ada dua struktur keluarga yang sedang berkembang, yaitu struktur keluarga yang berdasarkan perkawinan (marriage) dan struktur keluarga yang berupa hidup bersama tanpa ikatan perkawinan (heterosexual cohabitation). Keduanya sama-sama memandang pentingnya menegakkan hak-hak anak (children’s interest). Hanya saja persoalannya, mungkinkah struktur keluarga model kedua itu diadopsi ke dalam hukum keluarga Indonesia?
Hal ini perlu dicermati mengingat salah satu pertimbangan hukum MK adalah hubungan hukum antara anak dengan ayahnya tidak semata-mata didasarkan pada adanya ikatan perkawinan. Tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut.
Kedua, putusan MK ini lebih revolusioner daripada ketentuan KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek). KUH Perdata mengatur bahwa pengakuan dan pengesahan anak harus dilakukan oleh dua orang laki-laki dan perempuan yang terikat perkawinan. Anak tersebut pun juga bukan anak hasil dari perzinaan. Menurut KUH Perdata ini, anak yang lahir di luar perkawinan (natuurlijk kind) dapat diakui sebagai anak (erkening) oleh ayah dan ibunya, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengesahan anak (wettiging) tatkala kedua orangtuanya melangsungkan dan mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil. Lebih lanjut, KUH Perdata juga menentukan bahwa pengakuan anak tidak diperbolehkan terhadap anak-anak yang dilahirkan akibat zina (overspel) atau yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang dilarang kawin (pasal 272-276). Sementara itu, putusan MK justru tidak membedakan antara anak akibat nikah siri, perselingkuhan, ataupun hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau samen leven.
Ketiga, putusan MK ini bisa jadi akan mengafirmasi kemerosotan moral. Memang semuanya tergantung dari perspektif mana persoalan ini akan dilihat dan bagaimana reaksi para lelaki itu sendiri. Jika para lelaki itu menjadi semakin berani, maka bisa jadi putusan MK itu justru mengafirmasi kemerosotan moral. Tetapi bila yang terjadi sebaliknya, maka tidaklah demikian. Akan berhasilkah misi yang diperjuangkan oleh MK ini, bahwa para lelaki itu harus bertanggungjawab terhadap anak-anak bilogisnya? Realita yang akan menjawab.
Keempat, lantas bagaimana implikasi hukum agamanya? Putusan MK tersebut akan bisa merusak kejelasan nasab seorang anak. Padahal, kejelasan nasab inilah yang selalu dipelihara oleh ajaran Syariat Islam. Memang ada seorang ahli fiqih yang bernama Ishaq bin Rahawaih yang membuka kemungkinan pengakuan seorang anak di luar nikah oleh seorang laki-laki melalui istilaq atau deklarasi pengakuan anak. Namun, pendapat ini tidak mendapat tempat di kalangan ulama karena dinilai akan mengafirmasi kemerosotan moral.
Sebenarnya selama ini Hukum Perkawinan di Indonesia sudah melakukan berbagai upaya untuk melindungi hak-hak anak yang dilahirkan di luar nikah. Upaya-upaya itu di antaranya adalah (1) Pelembagaan Penetapan Nikah (itsbat nikah) bagi suami isteri yang melakukan nikah siri, sehingga anak-anaknya akan menjadi anak sah, (2) Pengasuhan Anak (hadhanah) dengan penetapan Pengadilan, yang bisa termasuk juga pengasuhan terhadap anak yang lahir di luar nikah, (3) Wasiat wajibah yang mengharuskan anak asuh untuk mendapatkan bagian harta warisan dari orangtua asuhnya, dan (4) Pembolehan kawin hamil.
Upaya-upaya perlindungan anak tersebut diberikan tetap dalam perspektif menjaga kejelasan nasab seorang anak. Satu sisi anak-anak di luar nikah tetap mendapatkan hak-haknya secara proporsional, di sisi lain upaya ini tetap bisa menjaga kejelasan nasab yang menjadi salah satu misi utama syariat Islam. Hal-hal itu tentunya berbeda dengan putusan MK di atas. Untuk itu, perlu ada kajian lebih lanjut guna menentukan secara spesifik hak-hak anak di luar nikah pasca putusan MK. Wallaahu a’lam bish-shawab.