Seorang wanita akan dinikahi oleh seorang laki-laki dengan wali ayahnya. Saat dilakukan pemeriksaan di KUA, sang ayah menampakkan kebersediaannya menjadi wali nikah di hari yang ditentukan. Saat hari pernikahan tiba, ternyata sang ayah tidak hadir dan tidak jelas keberadaannya dan tidak mungkin dihubungi.
Saat kebingungan keluarga pengantin itu, sang Penghulu memutuskan agar pernikahan tetap dilangsungkan dengan kakak kandung pengantin sebagai wali nikah. Dari pernikahan itu lahir dua orang anak. Setelah punya dua orang anak inilah sang ayah menyadari kekhilafannya dan datang ke KUA untuk menikahkan anaknya.
Tindakan penghulu memindah perwalian dari wali dekat (ayah) ke wali jauh (saudara sekandung) menurut madzhab Syafii tidak dapat dibenarkan. Karena wali yang dekat saat berhalangan seperti kasus diatas hanya bisa digantikan oleh wali Hakim dalam hal ini kepala KUA. Sebagaimana penjelasan Ahkamul Usroh fisy Syariat al Islam Halaman 112 halaman 112
ويري الشاÙعية: أن الولي الأقرب إذا عضل موليته من الزواج او تعذر التزويج من جهته بأي سبب من الأسباب Ùإن الولاية تنتقل إلي السلطان وهذا قول ÙÙŠ مذهب الØنابلة وبه قال بعض الصØابة والتابعين واستدلوا بقول النبي صلي الله عليه وسلم :”Ùإن اشتجروا Ùالسلطان ولي من لا ولي له.
As Syafiiyah berpendapat: “Wali dekat ketika membangkang dari menikahkan atau berhalangan menikahkan dengan sebab dari beberapa sebab, maka perwalian berpindah kepada Sulton (hakim yang ditunjuk pemerintah). Pendapat ini juga merupakan salah satu pendapat ulama Hanabilah. Sebagian shahabat dan tabiin juga berpegangan pada pendapat ini dan mendasarkan pendapatnya pada sabda Nabi Muhammad: bila mereka berselisih maka Sulton menjadi wali orang yang tak punya wali”
Menurut Jumhur Ulama dikalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah tindakan penghulu sudah dapat dibenarkan karena wali ab-ad berada pada posisi wali aqrab.
Apabila pernikahan terlanjur dilakukan yang menurut madzhab syafii tidak diperkenankan, tetapi ditemukan dalil dalam madzhab lain, maka anak-anak yang lahir dari pernikahan itu tetap intisab pada ayahnya, hanya sebaiknya dinikahkan lagi sesuai Madzhab Syafii yang diikuti mayoritas umat Islam di Indonesia karena hubungan suami isteri selama ini dihitung subhat.