Sabda Nabi saw. :
Ø¥Ùجْتَمَعَ ÙÙÙŠ يَوْمÙÙƒÙمْ هَذَا عÙيْدَان٠Ùَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَه٠مÙÙ†ÙŽ الْجÙÙ…Ùعَة٠وَإÙنَّا Ù…ÙجَمّÙعÙوْنَ. رواه أبو داود وابن ماجه عن أبي هريرة.
“Telah berkumpul dua ‘id di hari kalian ini, maka barangsiapa menghendaki, boleh mencukupkan salat ‘id dari salat jum’at. Adapun kami tetap menghadiri salat jum’at.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah ra.).
Zaid bin Arqam ra. berkata :
صَلَّي النَّبÙيّ٠صلّي الله عليه وسلّم العÙيْدَ Ø«Ùمَّ رَخَّصَ ÙÙÙŠ الْجÙÙ…Ùعَة٠Ùَقَاَلَ : مَنْ شَاءَ أَنْ ÙŠÙصَلّÙÙŠÙŽ ÙَلْيÙصَلّÙ. رواه الخمسة الا التّرمذيّ Ùˆ صØÙ‘ØÙ‡ إبن خزيمة.
“Nabi saw. pernah salat ‘id kemudian beliau memberi kemurahan (rukhsah) dalam salat jum’at. Beliau bersabda : “Barangsiapa menghendaki salat jum’at maka salatlah!” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Nasa’i dan Ibnu Majah dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah).
Pada suatu khutbah Usman bin ‘Affan berkata :
يَاءَيّÙهَا النَّاس٠إÙنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدÙاجْتَمَعَ Ù„ÙŽÙƒÙمْ ÙÙيْه٠عÙيْدَان٠Ùَمَنْ Ø£ÙŽØَبَّ أَنْ يَنْتَظÙرَ الْجÙÙ…Ùعَةَ Ù…Ùنْ أَهْل٠الْعَوَالÙÙŠ ÙَلْيَنْتَظÙرْ وَمَنْ Ø£ÙŽØَبَّ أَنْ يَرْجÙعَ Ùَقَدْ أَذَنْت٠لَهÙ. رواه البخاريّ.
“Wahai manusia, hari ini adalah hari berkumpulnya dua ‘id. Maka barangsiapa berkeinginan menunggu salat jum’at bagi penduduk pegunungan, dipersilahkan. Barangsiapa berkeinginan pulang maka aku ijinkan”. (HR. Al-Bukhari).
Abdullah bin Abd al-Rahman al-Bassam dalam karyanya Taudih al-Ahkam min Bulug al-Maram (juz II hlm. 596) menyatakan bahwa yang dimaksud rukhsah pada hadis di atas adalah memberi kemurahan dan kemudahan saja. Jadi sebaiknya tetap hadir sebagaimana pendapat jumhur ulama fiqh bahwa salat jum’at tidak gugur lantaran salat ‘id apabila ‘id dan jum’at jatuh pada hari yang sama.
Sayyid Abd al-Rahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar dalam karyanya Bugyah al-Mustarsyidin (hlm. 90) menyatakan bahwa apabila hari ‘id bertepatan dengan hari jum’at, maka dalam mensikapi salat jum’at ulama terbagi menjadi empat pendapat :
- Apabila penduduk desa dan pedukuhan (jauh dari kota) keluar dari desanya sebelum tergelincir matahari maka mereka tidak wajib salat jum’at. Sedangkan penduduk kota tetap wajib salat jum’at. (mazhab al-Syafi’i).
- Tidak wajib salat jum’at baik penduduk kota maupun desa. Sebagai gantinya mereka salat zuhur. (mazhab Ahmad).
- Wajib salat jum’at secara mutlak (baik penduduk kota maupun desa). (mazhab Abu Hanifah).
- Tidak wajib salat jum’at maupun salat zuhur. Mereka cukup salat asar. (mazhab ‘Ata’).
Author,
Drs. H. Mughni Labib, MSI
Makalah ini disampaikan pada acara Pengajian Rutin Bulan Ramadan, Rabu 1 Juli 2015 di Musola al Ikhlas Kankemenag.