Harta wakaf mempunyai karakteristik unik yang menjadikannya layak sebagai modal abadi umat. Keunikannya terletak pada keharusan untuk menjaga keutuhannya dan mengelolanya secara produktif. Dari hasil kelola secara produktif diharapkan muncul keuntungan yang bisa dimanfaatkan untuk umat. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 40 menyatakan, bahwa harta wakaf tidak boleh (1) dijadikan jaminan, (2) disita, (3) dihibahkan, (4) dijual, (5) diwariskan, (6) ditukar atau diruislag, maupun (7) dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Namun, apabila harta wakaf (terutama tanah) hendak digunakan untuk kepentingan umum yang sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan aturan syariat Islam, harta wakaf bisa ditukar dengan harta lain yang nilainya minimal sepadan. Misalnya, tanah wakaf yang terkena proyek pembangunan jalan bisa ditukar dengan tanah lain yang nilainya minimal sepadan. Kemudian Pasal 41 ayat 2 UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Pasal 49 ayat 1 PP Nomor 41 Tahun 2006 menjelaskan, penukaran harta wakaf bisa dilakukan setelah ada izin tertulis dari Menteri Agama berdasarkan persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
Prosedur penukaran (ruislag) harta benda wakaf adalah sebagai berikut:
- Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti (ruislag) kepada Menteri Agama melalui KUA dengan menjelaskan alasan-alasannya.
- Kepala KUA kecamatan meneruskan permohonan ruislag kepada Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.
- Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota kemudian membentuk tim penilai harta benda wakaf dan harta penukarnya.
- Bupati/walikota kemudian membuat surat keputusan berdasarkan penilaian dari tim penilai tersebut.
- Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota kemudian meneruskan permohonan ruislag dengan melampirkan hasil penilaian tim penilai kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi.
- Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi kemudian meneruskan permohonan ruislag kepada Menteri Agama melalui Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
- Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam selanjutnya membuat permohonan pertimbangan/rekomendasi ruislag kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI).
- BWI kemudian meneliti kelengkapan dokumen-dokumen ruislag dan merapatkannya dalam suatu rapat pleno. Apabila pleno menyetujui, BWI selanjutnya memberikan rekomendasi ruislag kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
- Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam selanjutnya meneruskan permohonan dan rekomendasi ruislag kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Agama untuk diteruskan kepada Menteri Agama dan diproses penerbitan SK dari Menteri Agama.
- Apabila semua dokumen dan prosedur ruislag dinilai sudah benar, Menteri Agama kemudian menerbitkan surat izin ruislag.
Setelah terbit surat izin ruislag dari Menteri Agama, ruislag baru bisa dilaksanakan. Pembangunan pun baru bisa dilaksanakan setelah keluarnya surat tersebut.