Allah berfirman dalam surah At-Taubah (9):119
يَٰٓأَيّÙهَا ٱلَّذÙينَ ءَامَنÙواْ ٱتَّقÙواْ ٱللَّهَ ÙˆÙŽÙƒÙونÙواْ مَعَ ٱلصَّٰدÙÙ‚Ùينَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”
Ada tiga faktor yang mempengaruhi sikap mental dan kepribadian seseorang.
Pertama, faktor keluarga. Rasulullah Saw bersabda:
مَامÙنْ مَوْلÙوْد٠إÙلاَّ ÙŠÙوْلَد٠عَلَى الْÙÙطْرَة٠Ùَأَبَوَاه٠يÙهَوّÙدَانÙه٠أَوْ ÙŠÙنَصّÙرَانÙه٠أَوْ ÙŠÙمَجّÙسَانÙÙ‡Ù. رواه البخارى عن أبى هريرة
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka orang tualah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR Bukhari dari Abi Hurairah)
Kedua, faktor masyarakat atau lingkungan. Rasulullah Saw bersabda:
الرَّجÙل٠عَلَى دÙيْن٠خَلÙيْلÙÙ‡Ù ÙَلْيَنْظÙرْ مَنْ ÙŠÙخَالÙل٠رواه الترمذى والØاكم عن أبى هريرة
“Seseorang berada pada keagamaan temannya, maka lihatlah siapa yang dijadikan temannya.” (HR Tirmizi dan al-Hakim dari Abi Hurairah)
Beberapa penelitian ilmiah telah menemukan bahwa sikap, mental dan kepribadian seseorang sangat dipengaruhi siapa teman dekatnya. Selaras dengan itu, Ali bin Abi Talib berkata, “Bersahabatlah dengan orang yang selalu berbuat kebajikan, niscaya engkau menjadi salah satu dari mereka, dan jauhilah yang gemar berbuat jahat, niscaya engkau akan terhindar dari akibat kejahatan mereka.”
Ketiga, faktor pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal, pendidikan agama maupun pendidikan keagamaan. Para pakar pendidikan dan psikologi telah sepakat, pengaruh keturunan, pengaruh pendidikan masih kalah kuat dibanding dengan pengaruh pergaulan. Tentang mahalnya arti sebuah lingkungan sebagaimana yang difirmankan Allah, dalam surah Ibrahim (14) : 37
رَّبَّنَآ Ø¥ÙنّÙيٓ أَسۡكَنت٠مÙÙ† Ø°ÙرّÙيَّتÙÙŠ بÙوَاد٠غَيۡر٠ذÙÙŠ زَرۡع٠عÙندَ بَيۡتÙÙƒÙŽ ٱلۡمÙØَرَّم٠رَبَّنَا Ù„ÙÙŠÙÙ‚ÙيمÙواْ ٱلصَّلَوٰةَ Ùَٱجۡعَلۡ Ø£ÙŽÙÛ¡Ù”Ùدَةٗ مّÙÙ†ÙŽ ٱلنَّاس٠تَهۡوÙيٓ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙŠÛ¡Ù‡ÙÙ…Û¡ وَٱرۡزÙÙ‚Û¡Ù‡ÙÙ… مّÙÙ†ÙŽ ٱلثَّمَرَٰت٠لَعَلَّهÙÙ…Û¡ ÙŠÙŽØ´Û¡ÙƒÙرÙونَ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Do’a ini dipanjatkan Nabi Ibrahim as saat beliau akan meninggalkan isteri dan anaknya, yakni Hajar dan Ismail putra tercintanya, di sebuah lembah yang tandus, kering kerontang tidak ada tumbuh-tumbuhan dan tanaman, bahkan tidak ada kehidupan. Dari sinilah banyak hikmah yang bisa diteladani, terutama dengan metode pendidikan yang diterapkan Nabi Ibrahim as kepada keluarganya.
Pertama, beliau tidak meninggalkan keluarganya di sembarang tempat. Beliau menempatkannya di dekat Baitullah (rumah Allah). Tentu saja ini bukan suatu kebetulan, melainkan sebagai pertanda: sejak awal, Nabi Ibrahim as ingin mengkondisikan keluarganya untuk dekat dengan Baitullah. Seakan beliau yakin betul betapa tidak mungkin anak dan keluarganya menjadi saleh dan taat, tanpa mengenal Baitullah.
Dalam konteks sekarang bisa berupa masjid. Sangat kontras dengan yang terjadi pada anak-anak kita sekarang, mereka lebih suka pergi ke mall daripada ke masjid. Lebih akrab dengan BB daripada al-Qur’an. Hal ini terjadi karena banyak orang tua yang tidak mempertautkan hati anak-anaknya dengan masjid, sehingga Baitullah menjadi tempat yang asing bagi mereka.
Kedua, beliau meminta dalam do’anya, “Agar mereka mendirikan salat.” Ini adalah permohonan yang berorientasi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sebuah permohonan yang tidak ‘Populer’ dan jarang dikumandangkan oleh para orang tua, dan kaum pendidik sekarang. Visi dan Misi dunia pendidikan sekarang lebih dominan material oriented, lebih menitik-beratkan pada kecerdasan intelektual daripada kecerdasan spiritual. Salat yang merupakan simbol keharmonisan hubungan dengan Allah, akan membuahkan kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, pada saat ini kurang diperhatikan oleh orang tua.
Ketiga, permohonan berikutnya, “Jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka.” Beliau mengharapkan anak turunannya jadi orang-orang yang dicintai masyarakat, dan seseorang itu dicintai karena akhlaknya. Inilah indikasi keberhasilan metode pendidikan, yaitu ketika mampu meluluskan anak-anaknya yang berakhlak mulia. Semakin lama seseorang belajar, seharusnya semakin baik akhlaknya. Semakin tinggi gelar seseorang, seharusnya semakin bermoral. Namun kenyataan di lapangan tidak demikian, betapa mereka bergelar tinggi, justru tidak bermoral, korupsi dan melakukan banyak ked}aliman.
Keempat, Nabi Ibrahim menutup do’anya dengan rezeki material, “Dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan.” Logika kita, akan mengatakan seharusnya permohonan inilah yang mesti didahulukan, mengingat keberadaan keluarganya di lembah yang kering dan tandus. Tetapi kenyataannya yang diminta Nabi Ibrahim as tidak demikian.
Drs. H. Mughni Labib, M.S.I.
Makalah ini disampaikan pada acara pengajian rutin hari Selasa, (15/11) di Aula Kankemenag Cilacap