Sebagaimana dipahami zakat adalah rukun Islam dan merupakan kewajiban yang tidak terpisahkan dari keislaman seseorang. Secara pasti telah ditentukan nishab (batas harta yang wajib dizakati), kadar zakat yang harus dikeluarkan, syarat-syarat, waktu, dan cara pembayarannya. Dalam pelaksanaannya terdapat tiga unsur, yaitu: Pertama, pembayar zakat (muzakki). Kedua, penerima zakat (mustahiq), dan Ketiga, penyalur zakat, dalam hal ini yaitu amilin yang diangkat atau ditugaskan oleh pemerintah.
Pengelolaan zakat yang memberi dampak terhadap kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh tiga komponen di atas. Selain itu pengumpulan zakat haruslah dapat menampung perkembangan berbagai jenis harta kekayaan yang ada di masyarakat.
Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy sebagaimana dikutip Nouruzzaman Shiddieqy dalam Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya (1997) menjelaskan tiga prinsip yang terkandung di dalam pelaksanaan zakat, ialah: Pertama, zakat dipungut pada sebagian jenis harta yaitu pada jenis harta yang berkembang. Kedua, zakat dipungut setelah mencapai nilai batas kaya (nishab). Nishab tidak bisa diubah untuk disesuaikan dengan keadaan, sebab ketentuan itu ditetapkan oleh nash syara’, bukan hasil ijtihad. Demikian pula, karena nash menggunakan standar emas, maka tidak dapat diganti dengan yang lain. Ketiga, zakat harta (zakat al-mal) adalah pungutan tahunan (haul).
Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya secara garis besar meliputi dua macam harta. Pertama, harta zahir (amwal zhahiriyah) adalah harta yang dimungkinkan mengetahui dan menghitungnya oleh orang yang bukan pemiliknya, meliputi hasil pertanian seperti biji-bijian dan buah-buahan, dan kekayaan hewan ternak, seperti unta, sapi, kambing. Termasuk dalam harta zahir ialah barang tambang dan rikaz. Kedua, harta batin (amwal bathiniyah) adalah berupa uang, emas, perak serta harta perdagangan, termasuk penghasilan yang diperoleh karena kerja dan profesi.
Dari berbagai jenis atau macam harta objek zakat, ada yang wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 10 %, yaitu tanam-tanaman (hasil pertanian, makanan pokok) yang pengairannya tidak memerlukan ongkos dan tenaga manusia, ada yang sebesar 5 %, yaitu tanam-tanaman yang pengairannya memerlukan ongkos dan tenaga manusia, dan zakatnya dibayarkan pada waktu panen. Ada beberapa jenis harta yang terkena wajib zakat 2, 5 % , yaitu mata uang dengan segala jenisnya, emas, perak dan harta yang diperdagangkan, zakatnya dibayarkan setahun sekali. Ada lagi zakat hewan ternak yang diatur amat rapi pengeluaran zakatnya. Ada pula harta yang ditemukan dari dalam bumi, yakni barang tambang, kekayaan laut, atau harta karun yang disebut rikaz, zakatnya 20 %, tidak mensyaratkan haul (masa satu tahun) dan dikeluarkan sekali saja pada saat diperoleh setelah dibersihkan.
Para pengelola zakat (amil) harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang harta yang wajib dizakati dan yang tidak wajib dizakati. Juga masalah zakat membutuhkan ijtihad atau upaya penggalian hukum di tengah perkembangan yang terjadi di masyarakat Para ulama menggunakan metode ijtihad (penggalian hukum berdasarkan nash yang ada) dan qiyas (analogi hukum) dalam menetapkan jenis-jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya di masa kini. Salah satu potensi zakat yang besar dalam perekonomian modern adalah zakat perusahaan. Meski tidak ada dalil yang bersumber langsung dari Rasulullah SAW, namun dikembalikan kepada prinsip sumber zakat ialah prinsip an-nama’ atau al istinma (prinsip produktif) dan di luar kebutuhan pokok berdasarkan dalil-dalil umum zakat dalam Al Quran dan Sunnah.
Penetapan kewajiban zakat atas jenis-jenis harta yang tumbuh dan berkembang dalam perekonomian modern menunjukkan betapa hukum Islam sangat responsif terhadap perkembangan zaman. Dinamika dan elastisitas hukum zakat menunjukkan semangat keadilan yang menjiwai keseluruhan ajaran Islam. Prof. Afif Abdul Fatah Thabbarah Ruh al-Din al-Islamy mengatakan bahwa aturan dalam Islam itu bukan saja sekedar berdasarkan pada keadilan bagi seluruh ummat manusia, akan tetapi sejalan dengan kemaslahatan dan kebutuhan hidup manusia, sepanjang zaman dan keadaan, walaupun zaman itu bebeda dan berkembang dari waktu ke waktu.
Penggunaan ijtihad tidak diragukan mendapat tempat dalam pengembangan fiqih zakat, yaitu ijtihad dalam definisi seperti diutarakan Abdul Hamid Hakim dalam kitab ushul fiqih Al Bayan, yaitu mencurahkan segenap upaya untuk mendapatkan hukum syar’i dengan mengistimbatkannya (menggali dan mendapatkannya) dari Kitabullah dan Sunnah. Namun tentu saja perlu ada batasan ijtihad agar tidak salah kaprah. Apa yang sudah jelas dalam Al Quran tidak perlu difatwakan lagi. Dalam kaitan ini para ulama perlu memiliki pemahaman yang luas tentang syariah untuk bisa menggali hukum-hukum Al Quran dan Sunnah serta menemukan kontekstualisasinya dengan kehidupan kontemporer.