Ranah penyuluh dalam menanggulangi radikalisme adalah hanya sekedar mengingatkan. Melalui metode dakwah yang santun atau moderat, penyuluh menyampaikan pandangan pemahaman agama yang rahmatan lil alamin. Sedangkan yang memiliki wewenang secara represif seperti tindakan penangkapan dan memberikan hukuman adalah tugas keamanan pemerintah.
Pernyataan tersebut disampaikan Kakankemenag Cilacap, Muhgni Labib, Rabu (20/4) saat mengisi kegiatan Seminar Peran Penyuluh Agama Dalam Menanggulangi Radikalisme di masyarakat di Gedung Wanita Patra Pertamina Cilacap.
Mughni Labib mengimbau agar penyuluh mengedepankan sikap tengah dalam berdakwah. Sikap tengah ini lebih dikenal dengan istilah ‘Dakwah Wasathiyyah’. Terdapat lima ciri, yakni memahami realitas, fiqh prioritas, sunnatullah, rukhsah dan azhimah, serta memahami Islam secara kaffah (komprehensif dan holistic). “Pemahaman yang salah terhadap agama sama bahayanya dengan narkotika. Ini harus diluruskan, dibina, dan dicegah lebih dini sebelum berkembang,” tuturnya.
Dalam sambutannya, Ketua Pokjaluh Cilacap, Aid Mustaqim mengatakan, bahwa seminar tersebut ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan penyuluh dalam menanggulangi radikalisme. “Selain bisa menyuluh, penyuluh juga bisa menyulut jika tidak dibekali pengetahuan yang cukup. Bisa saja karena kurang pengetahuan dan teknik, tujuannya menanggulangi malah terpapar radikalisme. Ini kan sangat membahayakan” katanya.
Rektor IAIN menggarisbawahi pada penguasaan persoalan dan pemetaan lapangan. Dengan menguasai persoalan, penyuluh akan bisa bertindak arif dan bijaksana dalam mengambil langkah kepenyuluhannya. Sementara itu, penguasaan lapangan untuk mempersempit gerakan aliran radikalisme. Pemetaan lapangan perlu dilakukan untuk mengantisipasi masuknya radikalisme. Dengan tidak memberi ruang, secara otomatis peluangnya meluasnya paham radikalisme juga kecil. Karenanya penyuluh harus menguasai persoalan dan lapangan. Tanpa itu semua, maka apa yang menjadi tujuannya kemungkinan kecil akan tercapai.
Edi Warsono, Kasi Bimbingan Kemasyarakatan Lapas Kelas Satu Batu Nusakambangan membagikan pengalamannya atau testimoni dalam menghadapi napi terorisme. Napi teroris sangat memandang remeh petugas lapas dan merasa dirinya superior sebagai ustad. Perlu bahasa dan tutur kata yang santun untuk dapat berkomunikasi dengan napi teroris. Kunci pertama sebagai pertanda adanya komunikasi, salah satunya jika mereka mau menjawab salam. Istilah pembinaan atau konseling harus dirubah menggunakan istilah silaturahmi agar tidak dikatakan toghut. Selain itu, mereka juga tidak suka diceramahi. Untuk itulah penyuluh juga harus belajar lebih jauh mengenali karakteristik radikalisme.(on)