Adzan adalah panggilan (النداء) bagi umat Islam untuk menunaikan ibadah shalat, khususnya shalat wajib lima kali sehari semalam. Secara bahasa adzan berarti “pemberitahuan atau seruan” (الإعلام والنداء).
Ulama fiqih menyatakan bahwa adzan berarti “pemberitahuan atau seruan sebagai pertanda masuknya waktu shalat dengan bacaan yang telah ditentukan”. Adzan merupakan panggilan kepada jama’ah untuk melaksanakan shalat lima waktu dan memperlihatkan syiar ajaran Islam.
Para mufassir seperti Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa adzan dengan kandungan kata-katanya yang pendek mengandung masalah akidah. Karena itu adzan dimulai dengan mengagungkan Allah SWT.(ألله أكبر= Allah Maha Besar). Dua kali syahadat pertama mengandung tauhid dan meniadakan sekutu dengan-Nya. Dua kali syahadat kedua mengandung pengakuan atas kerasulan Nabi Muhammad SAW. Seruan selanjutnya mengajak untuk mentaati perintah Allah SWT. dengan mendirikan shalat sebagai bukti mengiringi pengakuan terhadap kerasulan Nabi Muhammad SAW. sebab ibadah shalat itu tidak akan diketahui oleh manusia kalau bukan melalui Rasulullah SAW. Seruan selanjutnya mengajak pada kemenangan (الÙلاØ) yang langgeng. Kemenangan di sini menjadi syarat akan janji dari Allah SWT. kepada umat-Nya. Pengulangan kalimat tauhid satu kali terakhir merupakan penguat (التأكيد) atas kemenangan dan semua yang dijanjikan oleh Allah SWT. tersebut.
Untuk Shalat Jenazah dan shalat sunnah lainnya -seperti Shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha (Shalat ‘Id), Shalat Kusuf dan Khusuf (Shalat Gerhana) serta Shalat Istisqa, tidak dikumandangkan adzan namun diganti dengan kalimat “الصلاة جامعة”.
Ibnu Qudamah (ahli fiqih Madzhab Hanbali) mengemukakan bahwa di samping berfungsi sebagai panggilan untuk melakukan shalat berjamaah, adzan juga dianjurkan untuk dikumandangkan kepada bayi yang baru lahir. Rasulullah SAW. sendiri melakukannya kepada cucunya, Hasan bin Ali bin Abi Thalib, yang baru saja dilahirkan oleh Fatimah az-Zahra (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Abi Rafi’; pada riwayat Imam Ahmad bin Hanbal tertulis Husain bin Ali bin Abi Thalib). Dalam riwayat lain juga dikatakan bahwa siapa saja yang melahirkan anak agar mengumandangkan adzan di telinga kanan bayi dan iqamah di telinga kirinya agar ia terbebas dari godaan jin dan penyakit (HR. Ibnu as-Sanni).
Rasulullah SAW. mengatakan bahwa sewaktu adzan berkumandang syetan lari, tetapi kembali lagi setelahnya. Kemudian syetan akan lari lagi ketika mendengar suara iqamah dan kembali lagi setelahnya. Di saat inilah syetan menggoda manusia sehingga shalat ada yang khusyu’ dan ada yang tidak (HR. al-Bukhari dari Abi Hurairah).
Bagi orang yang mendengar suara adzan dikumandangkan, disunnahkan pula membaca sebagaimana yang dibaca oleh muadzin dengan suara pelan, kecuali ketika“تَØَـيَّة”atau “Øَيْعَلَتين”empat kali. Saat itu pendengar disunnahkan membaca“لا Øول ولا قوّة إلاّبالله” (tidak ada daya dan tidak ada pula kekuatan kecuali hanya dari Allah) sebanyak empat kali (HR. al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri).
Setelah adzan selesai, baik muadzin maupun orang yang mendengarnya disunnahkan pula membaca do’a :
أَللّـٰهÙمَّ رَبَّ هٰذÙه٠الدَّعْوَة٠التَّامَّة٠وَالصَّلاَة٠الْقَائÙمَة٠آت٠مÙØَمَّدًا ناÙلْوَسÙيْلَةَ وَالْÙَضÙيْلَةَ وَابْعَثْه٠مَقَامًا Ù…ÙŽØْمÙوْدًا ناÙلَّذÙÙŠ وَعَدْتَهÙ.
“Ya Allah Tuhan yang mempunyai seruan yang sempurna ini dan shalat yang didirikan, berikanlah kepada Nabi Muhammad karunia dan keutamaan serta kedudukan yang terpuji yang telah Engkau janjikan untuknya”.
Rasulullah SAW. bersabda bahwa yang membaca do’a ini akan memperoleh syafa’atnya pada hari kiamat (HR. al-Bukhari dari Jabir bin Abdullah). Pada riwayat lain akhir do’a ditambah “Ø¥Ùنَّكَ لاَتÙخْلÙÙ٠الْمÙيْعَادَ” yang artinya “sesungguhnya Engkau tidak akan mengingkari janji” (HR. al-Bukhari dari Jabir bin Abdullah).
Ulama fiqih berbeda pendapat tentang hukum mengumandangkan adzan. Ada yang mengatakan fardlu kifayah dan ada yang mengatakan sunnah. Bagi yang mengatakan fardlu kifayah dasarnya adalah mayoritas pendapat kalangan sahabat, seperti Abu Bakar as-Shiddiq (573-634), Abdul Aziz, Imam Malik, Atha’ bin Abi Rabah (wafat 114 H./733 M.) dan Mujahid. Ibnu Mundzir seorang sahabat Nabi SAW. mengatakan bahwa adzan dan iqamah merupakan fardlu kifayah bagi setiap jamaah baik ketika tidak bepergian maupun ketika bepergian. Mereka berpedoman kepada perintah Nabi SAW. :
إذَا Øَضَرَت٠الصَّلاَة٠ÙَلْـيÙؤَذÙّنْ Ù„ÙŽÙƒÙمْ Ø£ÙŽØَدÙÙƒÙمْ.
“Jika telah datang waktu shalat, maka adzanlah salah seorang di antara kamu”. (ringkasan dari HR. al-Bukhari dengan bacaan yang panjang dari Malik al-Huwairis).
Kata perintah (الأمر) yang berbunyi “ÙليÙؤذّنْ” di sini dipahami untuk mewajibkan (Ù„Ùلوجوب). Adzan termasuk sarana mensyiarkan ajaran Islam, sehingga adzan menjadi fardlu (kifayah) seperti jihad. Imam Malik juga mengatakan hukumnya adalah fardlu kifayah bagi shalat jamaah di masjid.
Imam as-Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa adzan itu sunnah, bukan wajib. Andaikata adzan wajib, itu hanya ditujukan kepada penduduk yang tidak bepergian, sedangkan bagi musafir tidak wajib.
Perempuan tidak diwajibkan mengumandangkan adzan dan iqamah (HR. al-Baihaqi dengan sanad shahih dari Ibnu Umar dan HR. al-Bukhari dari Asma binti Yazid yang mendengar langsung ucapan Rasulullah SAW). Tetapi Imam as-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal membolehkan perempuan adzan hanya untuk kalangan mereka saja (mereka adzan, iqamah dan menjadi imam). Jika mereka melakukannya hukumnya adalah boleh; jika tidak juga tidak apa-apa (HR. Ahmad bin Hanbal).
Sejak masa Rasulullah SAW. sampai masa pemerintahan Umar bin al-Khattab (13-23 H./ 634-644 M.) adzan untuk shalat Jum’at dikumandangkan satu kali, yakni setelah imam naik mimbar untuk berkhotbah, sementara iqamah dikumandangkan setelah imam selesai berkhotbah dan akan melakukan shalat berjamaah. Pada masa Utsman bin ‘Affan (644-656 M.), saat itu umat Islam semakin bertambah banyak sebagai hasil penaklukan yang dilakukan Umar bin al-Khattab ke berbagai daerah. Utsman berinisiatif menambah adzan menjadi dua kali. Adzan pertama dilakukan di tempat suara bisa terdengar lantang. Setelah itu muadzin diam sejenak. Adzan kedua dilakukan setelah imam naik mimbar untuk berkhotbah.
Selain Shalat Shubuh, tidak diperbolehkan adzan sebelum masuk waktu shalat. Karena yang dikehendaki adzan adalah memberitahukan masuk waktu shalat.
Adapun Shalat Shubuh, maka boleh adzan sebelum masuk waktunya. Pendapat ini juga dikatakan oleh Malik, al-Auza’i, Abu Yusuf dan penduduk Syam (Syiria). Sedangkan Abu Hanifah dan al-Tsauri mengatakan tidak boleh adzan sebelum masuk waktu shalat. Dasarnya adalah sabda Nabi SAW. :
إنَّ بÙلاَلاً ÙŠÙؤَذÙّن٠بÙلَيْل٠… ÙÙŽÙƒÙÙ„Ùوْا وَاشْرَبÙوْا Øَتَّى ÙŠÙؤَذÙّنَ Ø¥Ùبْن٠أÙÙ…ÙÙ‘ مَكْتÙوْمÙ.﴿رواه البخارى ومسلم والترمذى والنسائى عن أبن عمر﴾
“Bahwa sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari … maka makanlah dan minumlah sehingga Ibnu Ummi Maktum adzan”. (HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasai dari Ibnu Umar).
Apabila dalam satu masjid ada dua muadzin, maka disunnahkan salah satunya adzan sebelum fajar dan yang lain adzan setelah fajar. Karena Bilal adzan sebelum fajar dan Ibnu Ummi Maktum adzan setelah fajar.
Sebagian teman kami menyatakan apabila dalam suatu daerah telah berlaku adat dimana adzan untuk Shalat Shubuh dilakukan setelah fajar, maka sebaiknya tidak dilakukan adzan sebelum fajar, agar mereka tidak terbujuk dengan adzannya.
Mengenai lafadh adzan, apabila adzan Shubuh maka ditambah tastwib setelah mengucapkan “Øَيَّ عَلَى الÙَلاَØÙ” yakni mengucapkan “أَلصَّلاَة٠خَيْرٌ Ù…ÙÙ†ÙŽ النَّوْمٔ dua kali.
Dasarnya adalah sabda Nabi SAW. kepada Abu Mahdzurah :
Øَيَّ عَلَى الÙَلاَØÙ. ÙˆÙŽØ¥Ùنْ كَانَ ÙÙÙ‰ صَلاَة٠الصّÙبْØÙ … Ù‚Ùلْت٠: أَلصَّلاَة٠خَيْرٌ Ù…ÙÙ†ÙŽ النَّوْمÙ. أَلصَّلاَة٠خَيْرٌ Ù…ÙÙ†ÙŽ النَّوْمÙ. ﴿رواه أبو داوود والنسائى وابن Øبان عن أبىمَØذورة﴾
“Mari menujukebahagiaan. Dan apabiladalamShalat Shubuh… Engkau katakan : Shalat itu lebih baik daripada tidur”. (HR. Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Hibban dari Abu Mahdzurah).
Author
Drs. H. MughniLabib, MSI.
Disampaikan pada acara Bintal Pegawai Kankemenag Kab. Cilacap, Selasa 1 Mei 2012 di Aula Kankemenag Kab. Cilacap.